Monday, 14 February 2011

Environment, Influences, and Reaction

Annyeong! :)

Suatu sore waktu saya lagi nge-game di laptop, dormmate saya muter lagu yang bikin saya inget sama temen-temen SMA saya. Pikiran saya berkelana ke mana-mana hingga akhirnya memaksa saya untuk membuat tulisan ini.

Dalam 19 tahun hidup saya sebagai seorang manusia, many things directly or indirectlyhappened to me and pushed me to learn. People come, people go. Some change, some stay the same. Satu hal yang bisa saya simpulkan adalah: betapa waktu dan lingkungan dapat mengubah seseorang sebegitu drastisnya.

As I’ve stated on my first post, saya lahir dan dibesarkan di Jambi sebuah kota kecil di provinsi yang memiliki nama yang sama, di pulau Sumatra. Saya tidak pernah meninggalkan Jambi, kecuali untuk liburan atau saat saya mengikuti perlombaan tingkat nasional di provinsi lain. Setelah lulus SMA, saya pindah ke pulau Jawa untuk melanjutkan pendidikan saya alias kuliah. Just like me, banyak teman-teman saya yang juga pindah ke pulau Jawa untuk kuliah.

Baru sebulan setelah mulai kuliah, saya dipertemukan kembali dengan teman-teman saya dan berkesempatan untuk mengobrol. Satu hal yang membuat saya tidak habis pikir adalah perubahan sikap yang ada pada diri mereka.

Entah mengapa mereka yang dahulunya selalu berbahasa daerah tiba-tiba saja sudah berbicara dengan bahasa ‘gaul’ Jakarta, padahal saya dan mereka sama-sama berasal dari Jambi. ‘Aku-kau’ atau ‘kami-awak’ kini telah berganti menjadi ‘gue-lo’, dan sama sekali tidak keluar sedikit pun bahasa daerah dari mulut mereka. Malu kah?

Padahal mereka juga sama seperti saya, lahir dan besar di Jambi dan tidak pernah meninggalkan Jambi kecuali untuk liburan. Padahal dulu kami selalu bercakap-cakap dengan bahasa daerah. Pertanyaan saya adalah: “Apakah tinggal di pulau Jawa, khususnya Jakarta, berarti harus selalu menggunakan bahasa Jakarta? Bahkan jika berbicara dengan teman lama yang berasal dari satu daerah sekalipun?”

Melihat dari prilaku teman-teman saya itu, boleh dikatakan secara tidak langsung mereka mengiyakan pertanyaan saya. Wah, kalau begitu saya merasa kasihan dengan mereka. Itu berarti mereka telah membiarkan diri mereka dipengaruhi oleh lingkungan, mereka tidak berbangga hati dengan identitas mereka sendiri.

Saya selalu ingat perkataan Mr. Karan Singh, dosen saya di mata kuliah Leadership. Beliau berkata, hal yang membuat bangsa Inggris dan Amerika menjadi dominan adalah karena ke-agresifan mereka. They don’t let the environment influence them, yet they influence the environment. That’s why, budaya barat perlahan mengikis budaya yang ada di negeri kita. That’s also what exactly happens to my friends, yah walaupun dalam taraf yang lebih kecil.

Saya tidak pernah mau menjadi seperti mereka. Tidak ada yang menyalahkan mereka jika mereka berbicara bahasa ‘gaul’ Jakarta, tapi sayangnya mereka tidak memilah-milah waktu dan tempat yang tepat untuk menggunakannya. Masa’ berbicara dengan teman daerah sendiri juga pake bahasa Jakarta?

Pantas saja bahasa daerah di Indonesia sekarang banyak yang punah, ternyata generasi mudanya yang sudah tidak mau menuturkan bahasa daerah mereka sendiri. Andai saja mereka bisa lebih bijak. Well, I’m not saying I am better than them or what. At least saya masih berbangga hati untuk berbahasa Jambi, tentu saja di waktu dan tempat yang tepat.

Anyway, my thought is my thought. Good or not, it’s just the matter of perception. :)

Kamsahapnita for reading this…

No comments:

Post a Comment