Sunday, 17 March 2013

Putri Sang Nasib dan Gelas Penghidupan

Di penghujung senja, Putri Sang Nasib duduk murung.
Tangannya menggenggam gelas penghidupan yang ia sembunyikan.
Kakinya tergontai lemah, tubuhnya berguncang.
Terisak-isak ia menangis.

"O Putri Sang Nasib, mengapa kiranya kau berduka?"
Suara Pelindung Suci mengagetkan si gadis malang.
Malu-malu ia menjawab,
"Pedang kecilku hilang dan tak kunjung pulang padahal kini masanya berperang."
Dan semakin tertunduklah ia dalam kemasygulan hatinya, teringat akan pedang kecilnya.

"Seseorang mencurinya darimu? Pelindung Suci coba menerka.
Tak ada suara, hanya anggukan kecil dalam wajah penuh muram durja.

"O Tuhan! Berkati aku yang tak berdaya! Bagaimana bisa aku berjuang tanpa pedangku?"
Dalam kekosongan Putri Sang Nasib bergumam.

Pecah tawa Pelindung Suci, terkocok perutnya oleh sesuatu yang baru saja didengarnya.
Putri Sang Nasib tertegun; sedikit bingung, sedikit tersinggung.
Pun begitu, ada sedikit rasa penasaran menggelitik nalarnya.

"Boleh kutahu apa sebabnya kau tertawa, Tuan?"
Dahinya berkerut saat ia bertanya.

Pelindung Suci berdeham, malu ia akan tawa kerasnya.
Di detik berikutnya ia mulai bicara,
"Selama ini kau menangisi hal yang sia-sia, karena sesungguhnya pedang kecil dari lembah yang kau miliki hanyalah sebuah pedang tua yang usang. Ujungnya tak cukup tajam untuk kau bawa berperang.

"Dan kau tak pernah sadar, gelas penghidupanmu punya sinar yang benderang. Mengapa kau sembunyikan? Keluarkan gelasmu. Benda berharga seperti itu tak pantas kau simpan di balik punggungmu."

Yang diberi nasehat menggeleng pelan, "Tidak, kini ia enggan bersinar. Aku sudah lelah menggosoknya. Alih-alih benderang, ia malah makin meredup."

"Belum cukup lama kau menggosoknya. Lagipula ini bukan tentang berapa lama kau menggosoknya, tapi bagaimana kau menggosoknya. Percaya padaku, kau hanya salah mengartikan rencana Tuhan untukmu. Pedang itu sama sekali tak berguna. Gelasmu, itu yang seharusnya kau lebih perhatikan.

"Sekarang hapus air matamu. Tak malu kah kau dengan bulan yang dengan tegas bersinar keperakan? Kau bisa lebih tegas darinya, kau tahu itu." dengan anggukan mantap Pelindung Suci menutup petuahnya.

"Kau menyungguhi ucapanmu?" ada binaran di mata si gadis saat ia melontarkan pertanyaan itu.

"Tentu saja," tersenyum simpul sang Pelindung Suci, semangat Putri Sang Nasib telah kembali.

Dan di redup senja yang telah berubah menjadi keagungan malam, sudut-sudut bibir Putri Sang Nasib tertarik perlahan.

Secerca harapan mulai tumbuh,
Ia siap menghadapi dunia.

No comments:

Post a Comment