Tuesday, 19 March 2013

What Should A Dreamer Do for Her Living?

Jadi ceritanya saya lagi dilanda kegalauan yang luar biasa.
Bukan, bukan galau masalah percintaan dan segala tetek-bengeknya.

Ini tentang saya dan masa depan *iciwkipret*

Hingga detik ini di Selasa 19 Maret 2013, saya masih leyeh-leyeh di rumah. Gak literally leyeh-leyeh juga sih, tapi nyambi siap-siap buat salah satu rencana terbesar dalam hidup saya – yang belum mau saya bagikan di sini, nanti saja kalau sudah pasti. Yah, kasarnya saya masih nganggur-nganggur asoy.

Kalau boleh jujur, di detik selepas sidang saat chair of panel examiners mengumumkan bahwa saya lulus dengan nilai A, saya ngerasa lega dan bangga luar biasa. Selepas itu? Hampa luar biasa. Di otak saya yang terpikirkan adalah, “Oh, udah nih lulus? Begini aja? Trus habis ini mau ngapain?”


That’s an easy question to answer actually, for most of people. Kalo udah lulus kuliah mau ngapain? Ya kerja.

Tapi bagi saya menjawab pertanyaan “habis ini mau ngapain?” itu gak semudah yang kebanyakan orang bakal jawab. Di bayangan saya, kerja sehabis kuliah itu – yang juga seperti kebanyakan orang akan bayangkan – adalah jadi orang kantoran, baik PNS maupun swasta, yang kerja dari senen sampe jumat; dari pagi sampe malem. Duduk di depan laptop, hanya keluar saat makan siang atau saat ada pertemuan dengan klien. Ulangi terus bagian itu sampai seterusnya dan seterusnya, dan seterusnya.

Saya sangat menghormati sekaligus kagum dengan orang yang bekerja selama bertahun-tahun sebagai pekerja kantoran; like my father, my uncles, my aunties yang sangat ulet meniti karir sampe dapet posisi atas. If I were them, I would not be that patience and persistence. Call me impatience but yeah that’s what I am.

Saya lebih menyukai ide bekerja seperti yang ibu saya lakukan. Ibu saya seorang ibu rumah tangga, tapi beliau juga pekerja seni. Dulunya ibu saya seorang penari, tapi sekarang beliau jadi anggota vocal group yang cukup punya nama di Jambi; dan juga freelancer sebagai guru olah vokal, atau juri di berbagai perlombaan menyanyi. Gak mesti persis seperti itu juga sih, tapi ya intinya bekerja sambil menikmati hidup.

Keputusan saya milih Public Relations buat jadi major di undergraduate study saya bukan tanpa alasan. Dulunya sih pengen International Relations, tapi ya karena gak dapat restu akhirnya belok ke jurusan yang sama-sama berurusan dengan cuap-cuap dan pelobian; ya Public Relations.

Dari kecil, bahkan sebelum berlangganan tv kabel, saya udah suka banget nonton acara-acara National Geography, Discovery Channel, BBC, dan sebangsanya yang ditayangin di TPI, ANTV atau MetroTV. Saya ingat di sabtu dan minggu pagi saya selalu dengan semangat bangun di saat subuh cuma buat nonton Seputar Indonesia Akhir Pekan yang mengulas flora dan fauna.

When I was in middle high, my father decided subscribing to cable tv; and ever since, most of my leisure time I spend by watching NatGeo – either the ori one, wild, or adventure; Discovery Channel, and BBC and stuffs (juga channel-channel kartun hahaha) even until now. Kalo enggak ya baca dan nulis. I have always been a geek and I’m proud of it.

Setelah meracau luar biasa tentang diri saya yang baru saja saya lakukan ini, intinya adalaaaaah…

Saya pengen jadi kayak orang-orang yang ada di channel-channel TV itu. Dealing with animals and plants, traveling around the world, meeting new people, learning about new cultures, and gaining new experiences every single day. That’s the definition of ideal balance of job and life in my humble opinion. Harapan saya dengan jadi seorang Public Relations practitioner, saya bisa ikut ambil bagian dalam mempromosikan kampanye penyelamatan lingkungan dan makhluk hidup kepada orang-orang di seluruh dunia. Sayangnya orang-orang mikir, tujuan saya jadi PR practitioner itu jadi karyawati yang smart dan kece yang sehari-harinya tampil stylish.

Jika saya harus tinggal di Afrika mengurusi hewan-hewan dan berkampanye setiap harinya, namun saya harus meninggalkan ‘peradaban’; saya gak keberatan. I won’t mind. I won’t mind at all. I’m actually looking for a chance for it. Dengan gaji yang ngepas pun saya gak keberatan, as long as I got the chance to see the whole world.

Orang bilang jangan kerja karena hobby, soalnya nanti dapat duitnya cuma dikit karena biasanya rela-rela aja kalo gajinya kecil. Well screw that! Itu pemikiran buat orang-orang yang nyari duit. Saya? Saya mencari kepuasan dalam hidup. It’s better to live in simple way but mentally and spiritually full of joy. Daripada banyak duit tapi gak menikmati hidup karena terlalu sibuk kerja, gimana tuh?

Unfortunately that’s not the idea of how life should be menurut orang-orang di sekitar saya. I know, my dream might be a little bit too hard to achieve. Tapi tetep aja saya belum mau menerima pemikiran kalo abis kuliah itu ya kerja, terus nikah, terus punya anak dulu atau nyambung kuliah dulu – mana aja boleh, terus punya cucu dan hidup bahagia bersama keluarga selama-lamanya. That’s honestly so sweet, but I want something more; something beyond that.

You could say I’m too greedy. I’m sorry for that, but I admit that I am. I’m craving for adventures. Saya pengen ngelakuin hal-hal yang luar biasa. Saya pengen sesuatu yang lebih dari serentetan rutinitas yang bakal saya ulangi tiap hari. Ada banyak hal di dunia ini yang bisa saya pelajari, daripada menetap dan menjalani course of life yang rata-rata orang pilih.

Jalan ke situ memang gak gampang. Saya beberapa kali daftar buat jadi volunteer di negara-negara yang punya program konservasi lingkungan dan hewan liar, kayak Afrika Selatan, Australia, Thailand, Costa Rica, dan sebagainya; dan saya keterima. Sayangnya budget yang saya butuhkan buat terbang ke sana juga gak dikit, jadi ya semuanya terpaksa saya tunda lagi sampai jangka waktu yang saya sendiri gak tahu.

Jadi ya untuk sementara ini mungkin saya harus berpuas diri dengan bermimpi. Gak masalah, karena hal-hal besar dimulai dari sebuah mimpi. It might be crazy but be it! I’ll definitely stick with these dreams I have. If you could try something different then why you should take the path most people would take? Entah cara berpikir saya yang emang beda sendiri atau sebenarnya saya sinting, saya juga gak ngerti. Yang saya mengerti ya, saya berharap suatu hari nanti mimpi saya bakal terwujud.

Saya bakal terus berusaha. Mungkin suatu hari saya bakalan bener-bener menginjakkan kaki di tanah Afrika dan melakukan apa yang sejak dulu pengen banget saya lakukan.

Sampai tiba saatnya nanti, kata-kata ‘mungkin suatu hari’ dan ‘bakalan’ akan hilang dari kalimat di atas. Semoga Tuhan kasih saya keberanian untuk membuat keputusan gila yang nantinya bakal menuntun saya ke mimpi-mimpi itu.

I guess this is the time for the dreamer to go back dreaming and planning extraordinary plans for her future.

This one is a pretty looong post, but thank you for reading this. :)

No comments:

Post a Comment